JAKARTA, METROHEADLINE.NET – Langkah pemisahan status kerugian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Danantara dari kerugian negara dinilai berpotensi melemahkan upaya pemberantasan korupsi. Ketua Umum LSM PENJARA 1, Teuku Z. Arifin, menegaskan bahwa kebijakan ini dapat membuka celah bagi pelaku korupsi untuk berlindung di balik regulasi yang justru melemahkan pengawasan hukum terhadap pengelolaan keuangan negara.
“Pemisahan ini bertentangan dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas. Jika kerugian BUMN dan anak perusahaannya tidak lagi dianggap sebagai kerugian negara, bagaimana aparat hukum bisa membuktikan unsur korupsi? Ini sama saja memberikan kekebalan hukum bagi pelaku,” ujar Arifin.
Sebelumnya, akademisi hukum Rega Felix mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap beberapa pasal dalam Undang-Undang BUMN yang dinilai dapat menghambat pemberantasan korupsi. Pasal yang digugat antara lain Pasal 3H ayat (2) dan Pasal 4B yang menyatakan bahwa kerugian Danantara dan BUMN bukan bagian dari kerugian negara, serta beberapa pasal lain yang mengatur bahwa pejabat dan karyawan BUMN bukan penyelenggara negara.
Menurut Rega Felix, aturan ini bisa mempersempit ruang gerak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). “Unsur utama dalam UU Tipikor adalah kerugian negara. Jika sejak awal sudah ditegaskan bahwa kerugian BUMN bukanlah kerugian negara, maka KPK akan kesulitan menindak kasus korupsi di lingkungan BUMN,” jelasnya.
Ancaman terhadap Penegakan Hukum
Arifin juga menyoroti bahwa perubahan status pejabat BUMN dan Danantara yang tidak lagi dianggap sebagai penyelenggara negara dapat menimbulkan dampak serius bagi pemberantasan korupsi.
“Dalam Pasal 5 UU Tipikor disebutkan bahwa penerima gratifikasi harus merupakan penyelenggara negara. Jika mereka bukan lagi penyelenggara negara, maka upaya hukum terhadap praktik korupsi di BUMN akan semakin sulit. Ini alarm bahaya bagi transparansi dan pengawasan keuangan negara,” katanya.
LSM PENJARA 1 menilai regulasi ini bertentangan dengan berbagai aturan yang telah menjadi dasar pemberantasan korupsi, di antaranya:
- Pasal 2 Ayat (1) UU Tipikor: Setiap orang yang secara melawan hukum memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi yang merugikan keuangan negara dapat dipidana hingga 20 tahun penjara.
- Pasal 3 UU Tipikor: Penyalahgunaan kewenangan yang merugikan keuangan negara dapat dikenakan pidana serupa.
- Pasal 5 UU Tipikor: Pemberian gratifikasi kepada penyelenggara negara dalam rangka memengaruhi keputusan dapat dihukum pidana.
Arifin menegaskan bahwa perubahan ini akan memperlemah penegakan hukum karena BUMN mengelola dana triliunan rupiah yang bersumber dari negara.
“Jika ada korupsi di BUMN, jelas itu adalah kerugian negara. Upaya membedakan keduanya adalah bentuk pelemahan pemberantasan korupsi yang harus dicegah,” katanya.
Dampak Besar terhadap Ekonomi dan Stabilitas Negara
Arifin juga mengingatkan bahwa aturan ini bisa berdampak luas terhadap ekonomi dan kepercayaan publik. Ia mencontohkan kasus skandal 1MDB di Malaysia, di mana dana negara diselewengkan hingga miliaran dolar AS oleh pejabat perusahaan negara.
“Kasus dugaan korupsi Pertamina yang merugikan negara triliunan rupiah baru saja menggemparkan publik. Jika aturan ini tetap berlaku, kita membuka kotak Pandora bagi kejahatan korporasi yang lebih sulit ditindak. Ini bukan hanya persoalan hukum, tapi juga masalah ekonomi dan stabilitas negara,” paparnya.
LSM PENJARA 1 mendesak MK untuk membatalkan pasal-pasal dalam UU BUMN yang melemahkan pengawasan dan penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi di lingkungan BUMN dan Danantara.
“Kami akan terus mengawal proses ini dan mendesak MK berpihak pada kepentingan bangsa. Jangan biarkan regulasi yang menguntungkan koruptor ini bertahan, karena jika dibiarkan, pemberantasan korupsi di Indonesia akan mengalami kemunduran besar,” tegasnya.